Aku termenung sejenak. Memoriku memintaku untuk mengingat bagaimana susahnya kami membangun pertama kali. Kami riset pasarnya, cari bahan bakunya, memotong bambu di pohonnya sendiri, menjualnya sendiri, dan berjalan kaki jarak jauh ke pasar pun pernah kami alami.
Kemarin,
tepat pukul 07.50 WIB sebuah pesan pendek dari Sahabat bisnisku meluncur di handphone merah yang ku punya. Sahabatku
ini bernama Asdi. Setelah mandi Aku baru melihatnya. Aku terperangah dan merasa
ada hal-hal yang ingin diungkapnya padaku segera. Bunyinya :“Tgk, kapan ada ngampus? mau ngomongin kumbung ni. Bpk thu rencana
mmbgkar,”. Daak, jantungku hampir berhenti berdetak di tempatnya. Aku
sedikit terkejut dengan pesan itu. Ada yang tidak beres. Aku pun membalasnya “nanti, Di”. Ini mengisyaratkan Aku ada
di kampus pagi ini. Supaya sahabatku ini bisa menyusulku di kampus saja untuk
membicarakan masalah itu. Kami tidak tinggal bersama. Hanya saja bisnis yang ku
bangun itu ada di tempatnya tinggal saat ini.
Masa-masa awal membangun |
Sejurus
kemudian sekitar jam setengah 9. Aku yang nebeng ke kampus bersama Rahmat pun
melaju ke kampus kami di bukit Indah. Jam 9.15 baru tiba disana. Tepatnya di
gedung laboratorium program studi Teknik informatika. Kami berdua pun naik ke
lantai 2, langsung menuju ke kediaman tempat biasanya kami bekerja dan
bercerita. Asdi mengirimkan mesej-nya kembali memberitahu bahwa ia sudah berada
di depan laboratorium teknik informatika. Aku pun turun untuk menemuinya. Ku
cari dia dibawah sana tak juga kudapati. Aku memasuki kembali ke dalam gedung
mencari dia tak juga ada. Aku berhambur keluar gedung lagi memastikannya.
Ternyata ia belum tiba.
Beberapa
saat kemudian Aku pun arahkan pandangan jarak jauhku ke utara. Dari jauh ia
mulai terlihat dengan sepeda ontelnya. Ia sedang berjuang berusaha mendayung
sepeda itu dengan sekuat tenaga. Luar biasa perjuangan anak ini. Mahasiswa yang
giat belajar dan gigih bekerja.Ia kini sudah di depan mata. Ia hentikan sepeda
dan memarkirkannya segera.
Ceritanya
kini dimulai. Asdi membuka pembicaraan hangat kami. Aku pun memasang alat
pendengaranku dengan baik. Supaya tak ada satu pun huruf dan kalimat-kalimat
yang disampaikannya lolos dan tidak tertangkap olehku. “Bagaimana ini tgk ?
Kita sudah capek-capek membangun usaha itu. Kini Bapak itu dengan mudah mau
menghancurkannya,” Asdi meminta solusi dari ku. Aku terdiam sesaat, memikirkan
cara, solusi, dan jalan keluar dari masalah kami hadapi ini.
Aku
termenung sejenak. Memoriku memintaku untuk mengingat bagaimana susahnya kami
membangun pertama kali. Kami riset pasarnya, cari bahan bakunya, memotong bambu
di pohonnya sendiri, menjualnya sendiri, dan berjalan kaki jarak jauh ke pasar
pun pernah kami alami.
Usaha
budidaya jamur merang. Cikal bakal usaha yang pertama kali Aku bangun bersama 2
sahabatku, Nasrol dan Asdi. Kami adalah tiga sekawan korban motivasi. Pada 6 november 2014 di desa Reuleut timur kami
pun membangun usaha industri makanan ini dengan dana patungan kami. Sebuah
program hibah dana untuk membiayai usaha-usaha mahasiswa yang sudah berjalan
sebelumnya datang menjelma. Bersaing dengan dua ratusann mahasiswa yang
registrasi tak menyurutkan nyaliku untuk beraksi. Aku layangkan proposal usaha
budidaya jamur kami ke panitia program ini untuk mendapati pendanaan free. Alhamdulillah, Allah mengasihi
hamba malang ini. Pada 25 desember 2014, suntikan dana aku dapati. Aku sendiri
memenangi kompetisi Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) Bidikmisi. Aku menjadi salah satu dari
pengusaha-pengusaha muda itu untuk meneruskan bisnis agraris kami.
Musim
panen jamur merang perdana kami tiba pada hari selasa 10 Maret 2015. Begitu
senang hati kami. Waktunya mencicipi hasil. Hari itu terik mentari masih
menyinari semesta. Panasnya cuaca dan suhu kumbung tak mematahkan semangat kami
memetik dan mencabuti jamur yang bisa dikonsumsi ini. Dengan hasil “bagus”. Bagus
untuk kategori pemula seperti kami.
Hasilnya lumayan karena produksi kali ini banyak kendala dan tantangan kami
hadapi mulai dari pengomposan media, pasteurisasi atau penguapan kumbung yang
belum memenuhi standarisasi sehingga masih tumbuhnya coprinus, salah satu jenis
jamur yang mengganggu tumbuhnya si volvariella
volvaceae (bahasa latinnya jamur merang) yang kami budidaya ini. Pemasaran
hasil tanaman kami ini cukup mudah terjual di pasaran. Ke pasar mana pun kami
bawa laku keras. Penjualan dan hasil produksi kami ternyata tidak bisa
mencukupi permintaan pasar setiap hari. Kami kekurangan kumbung (rumah jamur)
untuk produksi.
Liburan
panjang bulan ramadhan, hari raya idul fitri tiba. Kami pulang semua ke rumah
kami masing-masing di tempat kelahiran. Usaha kini tinggal sendiri mulai tak
terurusi. Aku sendiri harus kerja praktek di kantor dinas transmigrasi. Saat
kembali usaha itu kini sudah mulai ambruk, rusak disana sini. Kami tertegun
melihatnya lagi, bagaimana cara kita melanjutkan ide besar ini?
Singkat
cerita, pada 24 oktober 2015 dengan beberapa alasaan dan pertimbangan bersama
tim akhirnya kami memilih untuk memindahkan rumah usaha yang mulai rusak tersebut
ke tempat lain. Kepindahan ini disebabkan oleh kegiatan perkuliahan kami yang full time, terisi mata kuliah setiap
hari. Salah satu dari kami juga pindah tempat tinggal ke lokasi lain. Jadinya,
usaha kami pun terbengkalai beberapa waktu karena tidak ada yang mengurus dan
melanjutkannya. Sahabatku yang pindah itu adalah Asdi. Dia pun mengusulkan
untuk memindahkan usaha itu ke tempatnya tinggal sekarang ini. Di belakang
kontrakannya tersedia sebidang tanah milik bapak rumah kontrakannya yang pas
untuk penempatan rumah kumbung jamur, -tempat
budidaya jamur merang kami. Aku dan Nasrol (kawan satu kamar kostku juga)
yang hampir menginjak masa-masa akhir studi pun makin sibuk dengan belajar yang
membuat kami sulit untuk membagi waktu untuk membangun bisnis itu.
Hari
demi hari, minggu demi minggu, Aku dan Asdi terus sibuk membangun kumbung
(rumah jamur) yang kami bongkar dan pindah itu kembali. Pengalaman membangun
sebelumnya kami sudah punya. Proses pembangunan kedua kali ini lebih murah
karena tidak harus membeli bahan-bahan bangunannya lagi. Kumbung kami ini lebih
terlihat kokoh. Kami berdua sudah mengerti caranya. Siap rak-rak dan seluruh
bangunan. Kami terus belajar dari berbagai literasi, menanyakan apa saja ke
mentor bisnis kami pak Juwaidi, lalu kami beli bibit jamurnya lagi, beli bahan
bakunya, menunggu hari-hari panen perdana di lokasi baru ini, dan menjual ke
pasar setiap pagi kami tempuh dengan jalan kaki. Si Nasrol kini tidak ikut
bersama kami lagi, ia memilih fokus ke
studinya. Kami agak kecewa awalnya ia tidak bisa ikut serta lagi. Sedih
mengingat masa-masa itu. Mengingat masa-masa perjuangan besar kami.
Aku
terbangun dari lamunanku. Aku harus berikan solusi yang tepat kepada Asdi. Memberi beberapa pilihan padanya. Jika ada
dana Asdi lanjutkan terus. Jika tidak, maka kami harus meng-ikhlaskan kumbung
itu dihancurkan pemilik tanah itu. Pemilik tanah mulai geram melihat produksi
jamur kini tertunda dan tidak ada produksi lagi.
Kami
rugi di awal-awal migrasi (pindah) tempat ini. Tahap awal dan kedua produksi
setelah kepindahan kami ini gagal menghampiri. Usaha untuk mengembalikan modal
yang sudah kami keluarkan sebelumnya belum terealisasi. Keuangan mahasiswa seperti
kami kini telah menipis betul. Tapi kami sudah bisa dan mahir dalam hal ini.
Kami sudah banyak mencoba dan usaha ini prospek sekali. Tak sanggup lagi kami
membeli bahan bakunya, saudara-saudari. Jujur, saat ini aku sendiri sudah
kehabisan dana untuk mencukupi makanku sehari-hari. Jika ada yang ingin memberikan
donasi atau ingin menginvestasi untuk usaha ini. Bolehlah kami menerimanya
dengan rendah hati. Kami akan bekerja dengan baik dan hati-hati. Aku juga ingin
mengakhiri apa yang telah kumulai sebelumnya, yaitu studiku untuk jadi seorang
sarjana dan pengusaha IT.
Semoga
tulisanku ini bisa jadi pelajaran buat aku pribadi dan bagi sahabat pembaca
semua. Do’akan Aku ya sahabat-sahabat sejati. Aku ingin sukses seperti yang
telah ku cita-citakan tadi.
Lhokseumawe,
06 April 2016
COMMENTS