HIDUP BEGITU KERAS DI DESAKU
Desaku indah dan permai, nyiur lambaian daun
kelapa. Banyak sekali pohon kelapa di desaku. Hampir tiap rumah menanamnya.
Mungkin tanahnya yang lumayan asin sehingga tidak begitu subur untuk menanam
tanaman dan tumbuh-tumbuhan lain. Desaku juga sering kekeringan ketika air PDAM
tidak terdistribusi dari kabupaten ke desa kami terpaksa air kolam yang rasanya
asin kami gunakan untuk wudhu’, mandi, dan menyuci pakaian. Desa Ulee Matang
namanya, Letaknya begitu strategis dan geografis berada pada koordinat 5° 12' 35 Lintang Utara dan 97° 26' 28 Bujur
Timur , 4 meter diatas permukaan air laut. Begitu rendah dan pastinya kami
tinggal di dekat pesisir hanya 3 Km saja kalau kita melakukan perjalanan kesana.
Perairan tambak di desaku begitu luas hampir
setengah dari luas tanah yang telah di tempati oleh penduduk. Sebagian warga
desaku bekerja di tambak ini. Dulunya mereka memelihara udang, setelah udangnya
gagal panen mayoritas petani tambak di desaku sekarang mulai hijrah ke ikan
bandeng. Jadi, inilah saat ini yang banyak di usahakan disini. Tidaklah semua
warga memiliki tambak sendiri. Bagi yang memiliki tambak pendapatan warganya
bukanlah per bulan, umumnya mereka baru bisa mencicipinya setelah 4 bulan
bekerja keras memelihara bibit ikan bandeng hingga besar dan siap panen. Yang
tidak memiliki tambak sendiri mereka umumnya hanya bekerja di sungai memancing
kepiting, menjaring, dan menjala ikan apa saja yang bisa dimakan oleh
keluarganya.
Alhamdulillah, hari ini aku dapat undangan
dari paman sebagai tenaga kerja tarik pukat panen di tambaknya. Sungguh
anugerah sebenarnya, tapi aku kurang sehat itu yang masalahnya. Menarik-narik
pukat sekeliling tambak untuk menangkap ikan itu bukanlah pekerjaan mudah,
Kawan. Apalagi manusia – manusia seperti diriku yang kurang pengalaman dibidang
ini. Kalian mau tahu kan kisahnya...
Tawaran
uang masuk itu kuketahui dari ibuku, kata beliau pamanku (Adiknya Ibu) panen di
tambak malam ini. Hari ini masih dalam bulan suci Ramadhan 1436 H , puasa hari
ke 18. Berbuka puasa telah tiba aku makan dan minum secukupnya. Ibu memasak
kuwah pliek (patarana dan ikan mujair) sore itu begitu enak dan lezat.
Tapi aku lupa perutku dalam keadaan bermasalah dalam minggu-minggu ini. Siap
shalat magrib ku tambah makan kue yang di belikan paman. Tanpa minum air aku
pun berangkat buru-buru ikut dengan paman ke tambaknya.
Tiba disana aku pun masuk ke dalam pekerjaan
menarik-narik dan mendorong pukat/jaring ikan. Bersama dengan 7 tenaga kerja
lain aku pun ikut turun ke tambak. Lumpurnya menenggelamkan lututku tak lama
kemudian berjalan kembali pahaku pun hampir tenggelam. Begitu lelahnya kurasa
sambil mendorong pukat tersebut bergerak mengusir ikan ke depan kami. Satu tambak telah usai kami kerjakan
kira-kira 50 meter berjalan dalam air malam yang gelap itu. Badanku pun
bermandikan keringat seketika. Yang harus dikerjakan adalah mengusir ikan-ikan
ditambak yang satu ke tambak lainnya yang lebih besar lagi. Di tambak yang
kedua kami pun membagi anggota menjadi 2 regu yang satu di bagian aliran
sebelah barat dan yang satu lagi (tim kami) begerak di aliran sebelah timur.
Masing-masing regu memiliki 4 member, aku bertugas di bagian tengah pukat guna
mendorong terus ke depan. Hampir sampai di tujuan sekitar 80 meter dari start
di tambak yang kedua ini telah ku jejaki. Tiba-tiba saja nafasku tak teratur
lagi aku pun mual-mual dibuatnya. Begitu dahsyat begitu berat pekerjaan malam
ini berbeda sekali dengan yang pernah kulakukan sebelumnya. Akhirnya aku pun
memilih menyerah saja walau tak dibayar sepeser pun. Aku keluar dari arena
lumpur itu dan merebahkan diri di tanah. Ku pandangi langit yang begitu indah. Terbentang
luas pemandangan Sang Bimasakti. Begitu banyak gugus bintang di sisinya. Di
sana ku melihat rasi scorpion yang ingin memangsa planet cicin, Saturnus. Begitu
jelas mereka membentuk konstelasi dan bagaikan buku gambar yang terbentang di
langit. Ku tak ingin berlama-lama hanyut dalam keindahan langit di sana. Takut
tiba-tiba nanti aku bisa ketiduran di tanah. Aku pun bangun menuju ke gubuk
sambil melihat tenaga kerja lain yang sudah terbiasa seperti ini bekerja di air
yang berlumpur itu. Masih terasa mulutku bernafas dengan mulut dan mengeluarkan
makanan yang sudah di kompres lambung. Selesai semuanya baru aku pulang dengan
membawa pulang beberapa ikan dan rasa kecewa dengan diriku sendiri. Tak enak
rasanya jika ku meminta upah pada paman
karena bekerja hanya setengah. Tapi Alhamdulillah, keesokan harinya beliau
bersimpati padaku dan memberi gaji seperti yang diberikan kepada orang lain.
Kerja yang melelahkan sempat ku hanya meminta setengah saja bayarannya karena
mengingat kejadian seperti itu.
Begitulah betapa susahnya hidup di desaku.
Inilah akibatnya jika mahasiswa dari kampung yang terlalu berkutat dengan
diktat-diktat kuliah ketika pulang ke desanya tidak punya uang. Apabila tidak
punya skill di bidang pekerjaan yang ada di desa. Maka belajarlah. Tingkatkan
prestasi akademikmu.
COMMENTS